(1) Tarikan, Desakan, dan Geseran
Tegangan dan regangan akibat
gaya aksial, dapat diikuti pada persamaan (1), (2), (3), (4), dan (5).
σ = P /
A .................................................
(1)
dengan σ adalah tegangan (pascal), P adalah gaya (newton), dan A
adalah luas penampang (m2).
є =
δ / L ......................................................
(2)
dengan є adalah regangan (dalam m/m atau tanpa
dimensi), δ adalah pertambahan panjang
(pada peristiwa tarikan) atau pengurangan panjang (pada peristiwa desakan)
(dalam m), dan L adalah panjang batang mula-mula (dalam m).
Pada grafik tegangan (sumbu vertikal) versus regangan (sumbu horisontal), di
daerah elastis, nilai tangens α adalah
selalu konstan, yang pada bahan tertentu nilainya juga sudah pasti
(konstan).
tangens α =
σp / єp
...................................... (3)
dengan σp adalah tegangan pada batas elastik, єp adalah regangan pada batas elastik. Nilai tangens α tersebut disebut Moduls Young
atau Modulus Elastisitas atau Modulus Elastik, yang biasanya disimbulkan dengan
huruf E.
Hukum Hooke dapat dituliskan :
σ = E
. є .........................................................(4)
dengan σ adalah tegangan aksial (dalam Pa), E adalah
modulus elastisitas (dalam Pa), dan δ adalah
regangan (dalam m/m atau tanpa dimensi)
Besarnya deformasi aksial (δ ) dinyatakan :
δ = ( P
. L )
/ ( A .
E) ................................
(5)
Tabel modulus elastisitas disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Kerapatan dan Modulus Elastisitas Bahan
Tipe
|
Bahan
|
Kerapatan
(kg/m3)
|
Modulus
Elastisitas
|
|
(kN/mm2)
|
(GPa)
|
|||
Logam
|
Baja
|
7800
|
207
|
207
|
Logam
|
Aluminium (alloy)
|
2700
|
71
|
71
|
Logam
|
Kuningan
|
8800
|
117
|
117
|
Kayu Lunak
|
Kayu
|
480
|
9
|
9
|
Plastik
|
Polipropilin
|
900
|
1,4
|
1,4
|
Plastik
|
Akrylic
|
1180
|
3,1
|
3,1
|
Plastik
|
Polikarbonat
|
1200
|
2,4
|
2,4
|
Plastik
|
Plastik (PVC) Padat
|
1390
|
3,4
|
3,4
|
Sumber :
Iremonger (1982) dan dikonversi
Catatan : Sifat bahan tersebut pada pembebanan
jangka pendek pada 20 oC.
Angka
Poisson (= Rasio Poisson, Perbandingan Poisson) didefinisikan seperti pada
persamaan (6). Jika suatu beban tarik
dikenakan pada suatu batang, maka batang akan bertambah panjang. Jika disebut arah memanjangnya batang
tersebut ( = arah longitudinal) adalah arah sumbu – X, maka arah lateral (yaitu
arah yang tegak lurus terhadap arah pembebanan) baik sumbu – Y maupun sumbu –Z
akan terjadi pengurangan panjang (atau perpendekan). Besarnya regangan ke arah sumbu – X, sumbu –
Y, dan sumbu –Z berturut – turut :
єx = δx / Lx
, nilainya (+) karena bertambah panjang.
єy = δy / Ly
, nilainya (-) karena bertambah pendek.
єz = δz / Lz
, nilainya (-) karena bertambah pendek.
maka perbandingan regangannya :
- єy / єx =
- єz / єx = υ ................................. (6)
dengan υ disebut angka Poisson.
Nilai angka Poisson pada beberapa bahan disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2.
Angka Poisson
Bahan
|
Angka Poisson
|
Baja
|
0,25 – 0,30
|
Beton
|
0,20
|
Logam – logam lain
|
≈ 0,33
|
Sumber : Prasetio (1984)
Tegangan kerja pada suatu beban harus berada pada
daerah elastis, maka nilainya harus lebih rendah dari tegangan luluh. Di dalam desain, tegangan kerja atau yang
disebut juga dengan tegangan ijin (allowable
stressess) diperoleh dari persamaan (7) :
Tegangan Ijin = Tegangan Maksimum / Faktor Keamanan ...... (7)
Sebagai contoh, baja karbon rendah, yang memiliki
tegangan tarik maksimum (atau tegangan ultimat) sebesar 414 MPa, dengan faktor
keamanan sebesar 4,8, maka besarnya tegangan ijin = 414 MPa / 4,8 =
86,25 MPa.
Nilai tegangan kerja dari beberapa bahan disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3.
Tegangan Kerja Beberapa Bahan Berdasarkan Sifat Pembebanannya
A. Static
Loading
Material
|
Tension
(MPa)
|
Compression (MPa)
|
Shear
(MPa)
|
Low - carbon steel
|
83-166
|
83-166
|
55-110
|
Medium – carbon steel
|
110-207
|
110-207
|
83-138
|
Cast steel
|
55-103
|
55-103
|
41-83
|
Cast iron
|
21-28
|
70-110
|
21-28
|
B. Repeated or Shock Loading
Material
|
Tension
(MPa)
|
Compression (MPa)
|
Shear
(MPa)
|
Low - carbon steel
|
42-84
|
42-84
|
28-56
|
Medium – carbon steel
|
55-103
|
55-103
|
42-84
|
Cast steel
|
28-52
|
28-52
|
21-42
|
Cast iron
|
10-14
|
35-55
|
10-14
|
Sumber : Harris (1982)
Nilai batas mulur dan kekuatan tarik baja
karbon untuk konstruksi mesin berdasarkan JIS (Standar Industri Jepang) G 4051
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Batas Mulur dan Kekuatan Tarik Baja Karbon untuk Konstruksi
Mesin
Lambang
|
Batas Mulur (kg/mm2)
|
Kekuatan Tarik (kg/mm2)
|
||
N
|
H
|
N
|
H
|
|
S30C
|
29
|
34
|
48
|
55
|
S35C
|
31
|
40
|
52
|
58
|
S40C
|
33
|
45
|
55
|
62
|
S45C
|
35
|
50
|
58
|
70
|
S50C
|
37
|
55
|
62
|
75
|
S55C
|
40
|
60
|
66
|
80
|
S15CK
|
-
|
35
|
-
|
50
|
Sumber : Sularso
dan Suga (1987)
Keterangan : N = Perlakuan panas : penormalan
H = Perlakuan panas : celup dingin ataupun temper
Nilai kekuatan tarik baja
karbon difinis dingin berdasarkan JIS (Standar Industri Jepang) G 3123
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5.
Kekuatan Tarik Batang Baja Karbon Difinis
Dingin (Sering Dipakai
untuk Poros)
Lambang
|
Perlakuan Panas
|
Diameter (mm)
|
Kekuatan Tarik (kg/mm2)
|
S35C-D
|
Dilunakkan
|
20 atau kurang
|
58
– 79
|
21
– 80
|
53
– 69
|
||
Tanpa Dilunakkan
|
20
atau kurang
|
63
– 82
|
|
21
– 80
|
58
– 72
|
||
S45C-D
|
Dilunakkan
|
20
atau kurang
|
65
– 86
|
21
– 80
|
60
-76
|
||
Tanpa Dilunakkan
|
20
atau kurang
|
71
– 91
|
|
21
– 80
|
66
– 81
|
||
S55C-D
|
Dilunakkan
|
20
atau kurang
|
72
-93
|
21
– 80
|
67
– 83
|
||
Tanpa Dilunakkan
|
20
atau kurang
|
80
– 101
|
|
21
– 80
|
75
– 91
|
Sumber : Sularso
dan Suga (1987)
Nilai batas mulur dan kekuatan tarik
baja khrom nikel berdasarkan JIS (Standar Industri Jepang) G 4102 disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Batas Mulur dan Kekuatan
Tarik Baja Khrom Nikel
Lambang
|
Batas Mulur (kg/mm2)
|
Kekuatan Tarik (kg/mm2)
|
SNC2
|
70
|
85
|
SNC3
|
80
|
95
|
SNC21
|
-
|
80
|
SNC22
|
-
|
100
|
Sumber : Sularso dan Suga (1987)
Rumus
tentang tegangan thermal disajikan pada persamaan (8). Jika suatu balok diberi perlakuan panas, maka
perubahan temperatur yang terjadi tersebut dapat menimbulkan tegangan. Misalnya pada balok yang ujung – ujungnya
dijepit, kemudian suhu balok dinaikkan dari to menjadi t. Karen pemuaian balok tersebut dilawan oleh
gaya reaksi pada ujung – ujung balok, maka pada balok tersebut timbul tegangan
kompresif. Dengan asumsi bahwa panjang
balok adalah tetap, maka tegangan kompresif yang ditimbulkan oleh reaksi pada
ujung – ujung balok adalah :
σ =
E . α ( t
- to) ....................................... (8)
dengan σ adalah tegangan yang timbul, α
adalah koefisien muai bahan balok, dan
E adalah modulus elastisitas.
Tegangan
dan regangan akibat gaya geser dapat diikuti pada persamaan (9), (10), (11),
(12), (13), (14) :
τ =
Q / As ..............................................................
(9)
dengan τ adalah tegangan geser (dalam Pa), Q adalah
gaya geser (dalam N), As adalah luas penampang geser (dalam m2).
Jika gaya geser bekerja pada elemen empat persegi
panjang, maka :
tg γ
= δs /
L .....................................................
(10)
Besarnya
nilai dinyatakan dalam
radian. Pada nilai sudut kecil, maka berlaku :
γ =
tg γ ...................................................................
(11)
Persamaan (11) disubstitusikan ke persamaan (10)
sehingga diperoleh :
γ = δs /
L ..............................................................
(12)
Besaran γ
inilah yang disebut regangan geser.
Pada daerah elastis, nilai tegangan geser
sebanding dengan nilai regangan geser, maka berlaku Hukum Hooke, ditulliskan :
τ = G . γ ....................................................................
(13)
dengan
adalah tegangan geser (dalam Pa),
adalah regangan geser (tak berdimensi), dan G adalah modulus elastisitas
geser (= modulus geser, modulus kekakuan, modulus ketegaran) (dalam Pa). Besarnya modulus elastisitas geser pada
beberapa bahan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7.
Nilai Modulus Elastisitas dan Modulus Elastisitas Geser Beberapa Bahan
Bahan
|
Modulus Elastisitas (GPa)
|
|
Tarik atau Desak
|
Geser
|
|
Paduan aluminum 2014-T6
|
75
|
27,6
|
Paduan aluminum 6061-T6
|
70
|
25,6
|
Besi Cor – Abu -abu
|
90
|
41
|
Besi Cor - Tempa
|
170
|
83
|
Paduan Magnesium, AM100A
|
45
|
17
|
Baja Karbon 0,6 % (rol panas)
|
200
|
83
|
Sumber : Tanisan (1993)
Dari persamaan (9), (12), dan (13), dapat
diturunkan rumus deformasi geser :
δs = (
Q . L ) /
( As .
G ) .......................... (14)
(2) Gaya Lintang dan Momen Lentur
Pada balok tumpuan sederhana, maka berlaku tiga
persamaan kesetimbangan, yaitu :
(a)
∑ M di suatu titik = 0
(b)
∑ Fvertikal = 0
(c)
∑ Fhorisontal
= 0
Pada balok terjepit satu ujung (atau kantilever),
juga berlaku persamaan kesetimbangan gaya.
(3) Tegangan pada Batang akibat Beban Lateral
Momen inersia atau momen luas
kedua (second momen of area) pada
suatu penampang lintang yang berbentuk empat persegi panjang, dengan lebar
dasar b dan tinggi h, terhadap sumbu netral atau titik berat (Ix) adalah :
Ix
= b . h3 / 12
..................................................................... (15)
Momen inersia pada penampang berupa lingkaran
dengan jari – jari r adalah :
Ix
= ( π
/ 4 )
. r4
............................................................ (16)
Jika dinyatakan dalam diameter lingkaran (d), maka
besarnya momen inersia adalah :
Ix = π d4 / 64 ....................................................................
(17)
Momen inersia pada penampang lintang berupa
lingkaran berlubang, dengan diameter dalam D1 dan diameter luar D2
adalah :
Ix = π (
D24 - D14 )
/ 64 ................................................
(18)
Modulus penampang merupakan sifat
geometrik penampang lintang, yang didefinisikan :
Z =
I / ymaks ............................................................
(19)
dengan Z adalah modulus penampang, I adalah momen
inersia, dan ymaks adalah panjang lengan terbesar antara tempat
kedudukan pada suatu penampang dengan sumbu netral. Nilai ymaks (atau sering disimbulkan dengan huruf C) untuk
penampang lintang berupa empat persegi panjang adalah setengah tinggi,
sedangkan untuk lingkaran adalah jari – jari lingkaran. Dengan demikian maka :
(a) pada penampang lintang berbentuk empat
persegi panjang :
Z =
I / ymaks
↔ Z = (b
. h3 / 12 ) / ( h / 2 )
↔ Z = (b .
h2 / 6 ) .................................. ................ (20)
(b) pada penampang lintang berbentuk
empat lingkaran pejal :
Z =
I / ymaks
↔ Z = [ ( π / 4
) . r4 ] / r
↔ Z = [ (
π / 4
) . r3 ]
↔ Z = [ (
π / 32
) . d3 ]
.................. ................... (21)
(c) pada penampang lintang berbentuk empat
lingkaran berlubang :
Z =
I / ymaks
↔ Z =
[ ( π
/ 4 ) .(R4
- r4 ) ] / R
↔ Z = [ (
π / 4 R
) . (R4 - r4 )
] ........................ (22)
dengan R adalah jari – jari luar, dan r adalah jari-jari dalam.
Tegangan lentur tertinggi (σmaks)
pada suatu konstruksi (batang) terjadi pada penampang yang menderita momen
lentur yang maksimum (Mmaks) pada permukaan batang yang kedudukannnya
terjauh dari sumbu netral (yaitu pada ymaks atau C), dituliskan :
σmaks = Mmaks
x ymaks / I ................................................
(23)
karena I /
ymaks adalah Z, maka dapat ditulis :
σmaks = Mmaks
/ Z
........................................................ (24)
(4) Rancangan Ukuran Batang Berdasarkan Beban
Lateral
Rancangan ukuran balok, didasarkan pada
persamaan (24), yang bisa ditulis :
Z = Mmaks / σmaks
............................................... ...............
(25)
dengan Z
adalah modulus penampang (dalam m3),
σmaks adalah tegangan lentur maksimum (dalam pascal), dan Mmaks
adalah momen lentur maksimum (dalam N.m).
Padahal, untuk penampang lintang yang
berbentuk empat persegi panjang, besarnya modulus penampang (Z) adalah seperti
pada persamaan (20), dengan b adalah lebar dasar (dalam m) dan h adalah tinggi
atau tebal konstruksi balok (dalam m). Persamaan (20) disubstitusikan ke persamaan
(25), diperoleh :
(b . h2 / 6 ) = ( Mmaks / σmaks )
↔
h2 = ( 6
. Mmaks ) / (
b . σmaks )
↔ h = [( 6
. Mmaks ) / (
b . σmaks )] 0,5
................................. (26)
dalam hal ini, nilai σmaks yang
dipakai adalah tegangan ijin.
Mengenai
rancangan ukuran silinder atau pipa, pada konstruksi berupa silinder pejal,
maka penampang lintangnya berupa lingkaran pejal. Diameter lingkaran tersebut
bisa diperoleh sebagai berikut :
( π . d3 / 32
) = (
Mmaks / σmaks )
↔
d3 = ( 32
. Mmaks ) / (π
. σmaks
)
↔ d = [( 32
. Mmaks ) / (π
. σmaks
)] 1/3 ................................. (27)
dalam hal ini, besarnya σmaks yang dipakai adalah σijin
.
(5) Defleksi Batang Akibat Beban Lentur
Beban lateral menyebabkan
terjadinya lendutan (defleksi) pada suatu konstruksi batang. Nilai lendutan tersebut (dengan simbol υ )
berubah di setiap titik pada bentang konstruksi tersebut, dengan hubungan
persamaan diferensial :
E I
d2 υ / d x2
=
M
........................................... (28)
dengan E adalah modulus elastisitas bahan, I adalah momen inersia bahan, υ adalah lendutan, x adalah
posisi titik pada bentang konstruksi, diukur dari satu ujung acuan, dan M
adalah momen lentur.
Pada
konstruksi batang sederhana (simple beam)
yang didukung dengan sendi dan roll,
yang dibebani oleh beban titik, maka menurut Sardy dan
Lamyarni (1990), diperoleh
rumus :
υ = W.
b /
[ 6 . L . E . I ] . (-x3 + L2 x - b2
x ), untuk x ≤ a
(dari titik A, titik tumpu di
sebelah kiri)
= { W. b
/ [ 6 . L . E . I ] . (-x3 + L2
x -
b2 x ) } + { W / [6 . E . I ] .(x- a)3 ,
untuk
x ≥ a
(dari titik A, titik tumpu di
sebelah kiri)
........................................................................ (29)
dengan W adalah besarnya beban, b adalah (L –
a), dan L adalah panjang bentang, atau jarak sendi dengan
roll.
Jika beban titik (W) tersebut
berada di tengah – tengah konstruksi batang sederhana (simple beam), maka lendutan maksimum terjadi tepat pada tengah –
tengah bentang, atau pada beban tersebut ( x = L/2), dengan nilai lendutan (υ)
sebesar :
υ
= W. L3 /
[ 48 . E . I ] ……………………........……. (30)
dengan W adalah beban, L adalah panjang bentang, E
adalah modulus elastisitas bahan, dan I adalah momen inersia bahan.
Jika
konstruksinya berupa kantilever atau batang terjepit, dengan panjang bentang L,
yang dijepit di titik A, maka besarnya lendutan (υ) pada jarak
x dari titik A akibat beban titik F yang bekerja di ujung bentang adalah
(Shigley, Mitchell, dan
Harahap, 1986 ) :
υ = F. x2 /
[ 6 . E . I ] . ( x - 3 .
L ) .................................... (31)
ssehingga lendutan maksimum terjadi di bawah gaya
F (pada x = L),
yang nilai lendutannya adalah :
υmaks = F. x2 /
[ 6 . E . I ] .
( x - 3 .
L ), dengan x = L
= F. L2
/ [ 6 . E
. I ] . ( L - 3 . L )
= - F. L3 /
[ 3 . E . I ] ......................................................
(32)
Jika
suatu konstruksi dikenai beberapa beban, maka cara penyelesaiannya dapat
dilakukan dengan metode superposisi. Metode superposisi tersebut pada
prinsipnya adalah bahwa besarnya defleksi yang terjadi akibat beban F1
dan F2 adalah sama dengan besarnya defleksi akibat beban F1
yang ditambah dengan defleksi akibat beban F2.
(6) Torsi
Momen inersia polar (J) pada poros atau as pejal
dengan jari – jari R dirumuskan sebagai
berikut :
J = ( 0,5) ( π ) R4
................................................................( 33 )
Jika dinyatakan dalam diameter poros (D), maka
diperoleh :
J = π
. D4 /
32
....................................................... (34)
Pada silinder berlubang, dengan diameter luar = D
dan diameter dalam = d, jari – jari luar = R dan jari – jari dalam r, maka
besarnya momen inersia polar dapat disajikan pada persamaan (35) atau (36).
J = ( 0,5) ( π ) (
R4 - r4 ).....................................................(
35 )
J = π
. ( D4 - d4 ) / 32
.......................................... (36)
Mengenai sudut puntir dijelaskan sebagai
berikut : pada poros pejal yang dipegang
atau diklem pada ujung kiri, dan mengalami momen puntir terhadap sumbu
longitudinal (memanjang) pada ujung kanan, dengan anggapan bahwa (a) puntiran
adalah seragam sepanjang poros, (b)
penampang lintang serta jari-jari rata pada suatu bidang, (c) baik panjang poros
maupun diameter poros tidak berubah, dan (d) bahan poros adalah homogen dan
mengikuti Hukum Hooke, maka hubungan antara sudut puntir θ (dalam radian) dengan
besarnya torsi (T, dalam N.m), panjang poros (L, dalam m), momen inersia polar (J,
dalam m4), dan modulus kekakuan (atau modulus elastisitas geser) (G,
dalam N/m2) adalah :
θ
= T
. L / (
J .
G ) ................................................. (37)
Tegangan geser akibat puntiran yang bekerja pada
poros, dirumuskan :
τ = T . ρ /
J ..........................................................
(38)
dengan
adalah tegangan geser, T adalah
torsi, ρ
adalah jarak terhadap titik tengah lingkaran proyeksi poros, dan J
adalah momen inersia polar. Dari
persamaan 38 tersebut tampak bahwa tegangan geser maksimum terjadi pada
nilai ρ yang mencapai maksimum, sehingga
diperoleh :
τmaks =
T . R /
J ..........................................................
(39)
dengan τmaks adalah tegangan geser maksimum, R adalah jari-jari lingkaran proyeksi
poros, T adalah torsi, dan J adalah
momen inersia polar.
Jika nilai tegangan geser maksimum tersebut
dinyatakan dalam torsi dan diameter, maka untuk poros pejal diperoleh :
τmaks = 16
. T
/ (π
. D3 ) ..........................................................
(40)
dengan τmaks adalah tegangan geser maksimum (dalam N/m2), T adalah torsi (dalam N.m), dan D adalah
diameter poros (dalam m).
Pada poros berongga, besarnya tegangan geser
maksimum dapat dinyatakan :
τmaks = 16
. T. D /
[ π ( D4 - d4 ) ]
........................................ (41)
dengan τmaks adalah tegangan geser maksimum (dalam N/m2), T adalah torsi (dalam N.m), dan D adalah
diameter poros bagian luar (dalam m),
dan d adalah diameter poros bagian dalam
(dalam m).
Poros untuk transmisi daya dirumuskan dari
persamaan (42) sampai dengan (46) berikut.
Hubungan antara daya putar, torsi dan
kecepatan sudut dirumuskan :
P =
T . ω .....................................................................................
(42)
dengan P
adalah daya yang ditransmisikan poros (dalam watt), T adalah torsi atau momen
puntir (dalam N.m), dan ω adalah kecepatan sudut (dalam radian/detik).
Apabila poros berputar dengan frekuensi f,
maka hubungan antara kecepatan sudut dengan frekuensi putara adalah :
ω
= 2 . π .
f ...................................................................................
(43)
Dalam hal ini, apabila frekuensi dinyatakan dalam
rps (atau banyaknya putaran tiap detik), maka kecepatan sudut dinyatakan dalam
radian / detik.
Hubungan antara daya putar dengan frekuensi putar
serta torsi adalah :
P =
2 . π . f . T
...................................................................................
(44)
Jika daya putar dinyatakan dalam satuan watt, dan
torsi sinyatakan dalam satuan N.m, serta frekuensi putar dalam rps, maka
didapatkan hubungan :
P(watt) = 2 . π
. rps. T(N.m)
.............................................................. (45)
Frekuensi putaran merupakan banyaknya putaran tiap
satuan waktu, bisa dinyatakan dalam rps (= banyaknya putaran tiap detik), atau
RPM (banyaknya putaran tiap menit), yang hubungan keduanya adalah :
rps = RPM
/ 60
...........................................................................
(46)
Sumber Rujukan
Frick, H. 1991. Mekanika
Teknik I : Statika & Kegunaannya.
Cetakan Kedelapan, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Gulo, D.H. 1989. Dasar
– Dasar Perhitungan Kekuatan Bahan (Alih Bahasa dari : Strength of
Material, Part I : Elementary, by S. Timoshenko, Robert E. Klinger Publishing Co., Inc., 1968). Cetakan Kedua, Penerbit Restu Agung, Jakarta.
Harris, C.O.
1982. Statics and Strength of Materials. John Wiley & Sons, Inc., United States of
America.
Prasetio, Lea. 1984.
Mekanika Terapan. (Alih Bahasa dari : Applied Mechanics, 2nd edition. by
D. Titherington and J. G. Rimmer,
McGraw-Hill Inc., 1982) Edisi
Kedua. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Santosa. 2004. Kekuatan
Bahan. Jilid I. Fakultas
Pertanian Universitas Andalas, Padang.
Sardy S. dan Lamyarni
I. S.
1990. Dasar Analisis Tegangan
(Alih Bahasa dari : BASIC Stress
Analysis, by M. J. Iremonger, Butterworth & Co. Ltd., 1982). Penerbit UI-Press, Jakarta.
Shigley, J.E., L. D.
Mitchell, dan Gandhi Harahap. 1986. Perencanaan Teknik Mesin. Jilid I, Edisi Keempat, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Sularso dan K. Suga.
1987. Dasar Perencanaan dan Pemilihan
Elemen Mesin. Cetakan Keenam.
P.T. Pradnya Paramita. Jakarta.
Tanisan, Z. A. 1993. Mekanika
Teknik (Alih Bahasa dari : Mechanics of Materials, 2nd Edition, by E.
P. Popov, Prentice-Hall, Inc.,
1978). Edisi Kedua. Penerbit Erlangga, Jakarta.
terimkasih informasinya
BalasHapusjancok gk ada soalnya
BalasHapushahahahaha
HapusTolol lu
HapusKami dari Beyond-steel Indonesia menyediakan: Material stavax dan equivalent, Baja AISI 4140 high quality, VCN, Plat stainless 304 dan plat stainless 316 high quality , dll, dengan kualitas terjamin. bisa dipertanggung jawabkan, c/w certificate. Untuk info lebih lengkap silahkan hubungi: sales@beyond-steel.com
BalasHapusPromosi mas
HapusMakasih, bermanfaat sekali...
BalasHapusAjarin dong kaka
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusKamu gay yah?
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusKenalan dong
HapusKalau aku chat ada Yang marah ga?
HapusIni teh apaan?
HapusEh ini lagi kumpul kebo ya?
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusAku dari Kota bandung
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusAku dari sman 4
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusAku di kelas xi mipa 3, kalau kamu?
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSama, saya juga
HapusKamu duduknya dimana
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusIhh kamu temen aku dong
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusIya maaf kang
HapusTolol lu
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusEh ko gaada videonya
BalasHapusTerimakasih sangat membantu👍
BalasHapus